Oleh: Muhamad Syahrial Adri*
Perkembangan teknologi di zaman modern ini tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan yang berasal dari pemikiran kaum intelektual yang konon katanya semua itu berangkat dari filsafat dengan alasan karena filsafat merupakan induknya ilmu pengetahuan. Apakah benar demikian? Tidak dapat dimungkiri filsafat memang berperan besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Namun di sisi lain tidak semua pihak yang menerima filsafat, bahkan ada yang mengharamkan filsafat terutama di kalangan kelompok-kelompok ortodoks. Dalam Islam juga demikian ada yang menerima dan ada yang menolak filsafat. Alasan yang menolak filsafat secara umum dalam Islam karena filsafat bukan ajaran dari Islam tetapi ajaran dari orang kafir. Hal tersebut menjadi polemik sehingga sebagian kalangan tidak menyebutnya dengan istilah filsafat Islam tapi dengan istilah filsafat Arab, bahkan polemik nama tersebut tidak hanya terjadi di kalangan umat Islam saja tetapi terjadi juga dikalangan orientalis (Zaprulkhan 2019b).
Makna Filsafat Islam
Kendati demikian belakangan ini lebih marak dengan istilah filsafat Islam. Lalu apa itu filsafat Islam? Filsafat Islam terdiri dari dua kata, yaitu filsafat dan Islam. Secara etimologis, filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia. Kata philosophia merupakan kata majemuk yang terdiri dari dua kata yaitu, philos (philein) dan sophia. Kata philos (philein) berarti cinta, sedangkan kata sophia berarti kebijaksanaan, kearifan, bisa juga berarti pengetahuan. Alhasil, secara sederhana, filsafat adalah mencintai kebijaksanaan (Zaprulkhan 2019a). Filsafat memiliki ragam definisi sehingga menurut Moh. Hatta dan Langeveld lebih baik tidak dibicarakan lebih dulu mengenai pengertian filsafat, karena dengan sendirinya orang akan paham tentang filsafat apabila telah banyak mempelajari filsafat (Tafsir 2009). Dari keberagaman definisi tersebut, ada definisi populer mengenai filsafat yang sejalan dengan common sense. Yakni, filsafat merupakan suatu disiplin ilmu tentang hakikat terdalam segala sesuatu dengan menerapkan prosedur berpikir ilmiah seraya memanfaatkan bahan-bahan dan hasil-hasil pemikiran yang absah sehingga berakhir dengan pencerahan dan pemahaman (Bagir 2022).
Sementara itu, kata Islam dari segi semantik berasal dari kata salima yang berarti menyerah, tunduk, dan selamat (Zaprulkhan 2019b). Makna asal dari kata “Islam” adalah berserah diri dan pasrah sepenuhnya kepada Allah dengan mengesakan-Nya dengan mengikuti ajaran para rasul-Nya (Naik, Ṣāwī, dan Ṣubḥ 2012) supaya mencapai keselamatan di dunia dan akhirat.
Jadi dapat disimpulkan bahwa, filsafat Islam pada hakikatnya adalah filsafat yang bercorak Islami, artinya filsafat Islam berpikir dengan bebas dan radikal, tetapi tidak keluar dari koridornya tetap pada taraf makna yang mempunyai sifat, corak, serta karakter yang menyelamatkan dan memberi kedamaian hati (Zaprulkhan 2019b).
Filsafat dalam Dunia Islam
Terlepas dari pengertian filsafat Islam, tentunya perlu ditinjau dari segi sejarah masuknya filsafat ke dunia Islam. Melacak akar historis masuknya filsafat ke dunia Islam secara akurat dan komprehensif bukanlah persoalan yang mudah. Filsafat sudah ada rentangan waktu pada abad keenam SM (tahun Masehi dimulai dari sejak lahirnya Nabi Isa AS) dengan dibuktikan adanya filsuf pertama di Yunani Kuno, yang bernama Thales kira-kira pada tahun 624-546 SM (Palmquist 2002). Jarak waktu antara munculnya filsafat dan lahirnya Nabi Muhammad SAW. (20 atau 22 April 571 M) kurang lebih 1.170 tahun (hitungan Masehi), sedangkan Muhammad diangkat menjadi Nabi pada usia 40 tahun tepatnya pada hari Senin, tanggal 21 malam Ramadan atau bertepatan pada 10 Agustus 610 M (Al-Mubarakfuri 2021). Dapat disimpulkan rentang waktu antara filsafat dan Islam kurang lebih 1.210 tahun. Itu pun, pada masa Nabi Muhammad saw. filsafat Yunani belum menyentuh agama Islam. Lalu kapankah filsafat masuk ke dunia Islam?
Pendapat umum bahwa Filsafat Islam dipercaya berawal pada masa Al-Kindi (801-873 M). Adanya pendapat tersebut karena Al-Kindi merupakan orang pertama yang menginterpretasikan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab dan menyelaraskannya dengan agama secara sistematis. Hal tersebut dibuktikan dengan karyanya berupa buku Al-Falsafah Al-‘Ula (filsafat pertama) yang membahas tentang posisi filsafat dalam keseluruhan pemikiran Islam. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa orang Islam pertama yang disebut sebagai filosof adalah Iransyahri (Bagir 2022). Tetapi menurut hemat penulis filsafat pertama kali bersentuhan dengan dunia Islam jauh sebelum masa Al-Kindi. Alasan ini diperkuat dengan munculnya aliran-aliran teolog (ilmu kalam) dalam Islam pada masa dinasti Umayyah (680-750 M/41-132 H) dan puncaknya pada masa dinasti Abbasiyah (750-1258 M/132-656 H).
Peradaban Islam pertama kali bersentuhan dengan peradaban Yunani pada masa khalifah Umar bin Khattab, tepatnya penaklukan Iskandariah pada tahun 641 M. Sedangkan sebelum itu Iskandariah pada periode Ptolemy I menggantikan posisi Athena sebagai pusat filsafat dan sains, dan sejak itu Iskandariah menjadi pusat bergelutnya pemikiran spekulatif Yunani dengan berbagai tradisi keagamaan mistis Mesir, Phoenisia dan Persia, serta agama Yahudi dan Kristen (Zaprulkhan 2019b). Walaupun demikian, pada masa tersebut kebudayaan Yunani belum memengaruhi peradaban Islam karena masih jauh dipinggiran dari pusat peradaban Islam. Seiring berjalannya waktu orang-orang di luar Islam banyak masuk Islam dan wilayah Islam semakin luas sehingga kebudayaan-kebudayaan lokal atau tradisi kepercayaan sebelumnya bersentuhan langsung dengan dunia Islam. Di sisi lain, orang-orang yang baru masuk Islam tidak sepenuhnya paham tentang Islam, terlebih mereka yang jauh dari pusat peradaban Islam. Bahkan banyak tokoh-tokoh agama non Islam yang masuk Islam hanya untuk ambil posisi aman dan yang ekstrem untuk merusak agama Islam dengan mencampuradukkan agama mereka sebelumnya ke dalam ajaran Islam (Hasbi 2015). Salah satunya adalah Abdullah bin Saba’ seorang Yahudi tulen yang memeluk agama Islam untuk merusak agama Islam dengan menyebarkan propaganda, yakni melebihkan Ali bin Abu Tholib dari sahabat-sahabat bahkan dari Nabi Muhammad SAW (asal-usul kelompok Syi’ah) dan memfitnah Utsman bin Affan dikalangan umat Islam yang awam sehingga terbunuhnya Utsman bin Affan (Abdullah 2006)
Embrio perpecahan umat Islam adalah pada masa Khalifah Utsman bin Affan yang kemudian diawali pada masa transisi Khalifah Ali bin Abu Thalib dengan Mu’awiyah bin Abu Shofiyan karena kepentingan politik yang lambat laun merembet ke akidah sehingga munculnya aliran-aliran teolog (ilmu kalam). Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa munculnya ilmu kalam secara garis besar karena dua faktor, yaitu faktor internal (kepentingan politik) dan faktor eksternal (bercampur baur dengan kebudayaan, tradisi, dan ajaran di luar Islam). Kemudian pada masa dinasti Umayyah (680-750 M/ 41-132 H) penulis yakin filsafat sudah masuk dan memengaruhi pemikiran dunia Islam walaupun pada masa tersebut masih samar-samar. Hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya aliran Mu’tazilah yang digagas oleh Washil bin ‘Atha (lahir pada tahun 699 M/ 80 H dan wafat 748 M/ 131 H) bertepatan pada masa khalifah Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M). Washil bin ‘Atha lebih menjunjung tinggi akal daripada wahyu, bahkan pemikirannya lebih dekat dengan filsafat Yunani dan begitu juga murid-muridnya banyak belajar filsafat. Ia menyebarkan ajaran-ajaran dari orang Irak yang bernama Sausan (seorang Nasrani masuk Islam, kemudian kembali masuk Nasrani) mengenai takdir yang ia (Sausan) ajarkan ke Ma’bad bin Khalid Al-Jahani (pendiri aliran Qodariyah pada tahun 70 H), kemudian Ghailan Ad-Dimsyaqi berguru kepada Ma’bad.
Kenapa pada masa dinasti Umayyah filsafat samar-samar? Karena pada masa tersebut sesuatu yang dianggap menyimpang bisa dieksekusi secara langsung, dan ini dialami oleh Ghailan Ad-Dimsyaqi yang menyebarkan pemahamannya tentang takdir tepatnya pada masa Umar bin Abdul Aziz ia dipanggil dan disuruh bertobat, tetapi Ghailan Ad-Dimsyaqi menolak. Kemudian pada masa Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan ia dibunuh karena tetap mempertahankan pemahamannya (Al-Hafni 1998). Seiring dengan berjalannya waktu dan wilayah Islam semakin luas, semakin banyak pula bersentuhan dengan kebudayaan-kebudayaan peradaban lain, seperti India, Persia, Yunani dan lainnya, sehingga memengaruhi peradaban Islam yang awalnya kaku pada masa dinasti Umayyah berubah menjadi peradaban yang terbuka pada masa dinasti Abbasiyah yang dimulai dari masa Al-Mansur (754-775 M) yang berhasrat untuk memajukan peradaban dengan ilmu-ilmu pengetahuan dan hal tersebut dilakukan dengan menerjemahkan buku-buku asing (kebudayaan peradaban lain) ke dalam bahasa Arab. Pada masa kepemimpinan Al-Ma’mun (813-833 M) Mu’tazilah resmi jadi mazhab negara dan buku-buku filsafat secara besar-besaran diterjemahkan ke dalam bahasa Arab (Ibrahim 2016).
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat memasuki dunia Islam pada abad keenam Masehi atau pada abad pertama dalam kalender Hijriah, hal ini diperkuat dengan adanya beberapa tokoh Yahudi dan Nasrani, seperti Abdullah bin Saba’ dan Sausan yang masuk agama Islam hanya untuk merusak ajaran Islam dengan membawa pemahaman mereka yang dicampuradukkan dengan ajaran Islam. Catatan penting, Yahudi dan Nasrani lebih dulu bergelut dengan dunia filsafat sehingga pemikiran Abdullah bin Saba’, Sausan, dan yang lainnya sudah bercampur aduk dengan filsafat dalam beragama. Jika diselisik tokoh-tokoh pendiri-pendiri aliran teolog (ilmu kalam) pasti bersentuhan bahkan dipengaruhi oleh paham-paham di luar Islam, seperti Ma’bad bin Khalid Al-Jahani (pendiri aliran Qodariah) dipengaruhi oleh Sausan (tokoh Nasrani), Washil bin ‘Atha dipengaruhi oleh kebudayaan di luar Islam, dan tokoh-tokoh yang lain dipengaruhi oleh filsafat, khususnya filsafat Yunani.
*Ketua Bidang Kajian & Pengembangan Keilmuan PC IMM Kota Palangka Raya
Tinggalkan komentar