Oleh: Firdan Dwi Setiawan*
Ramadan 1447 H/2025 M datang tanpa banyak suara, tapi hadirnya terasa dalam seperti angin berembus lebih pelan dan langit menua lebih tenang. Di antara malam-malam yang mulai padat oleh doa dan lantunan surah, ada langkah-langkah kecil yang diarahkan jauh dari pusat keramaian, menuju tempat yang tak semua orang sempat menyebutnya dalam peta. Bukan karena kami paling tahu, bukan pula paling siap. Tapi ada yang memanggil dari dalam hati, semacam kerinduan yang belum tahu apa yang sedang dirindukan. Maka kami berangkat, membawa ilmu yang kami punya, lebih banyak harap, dan keyakinan bahwa perjalanan ini bukan sekadar tentang ke mana kaki melangkah, tapi apa yang akan tumbuh di dalam diri sepanjang jalan.
Tepat dua hari sebelum Ramadan tiba, kami berangkat diantar oleh Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Kalimantan Tengah dan rombongan lainnya. Ada debar di dada, bukan karena takut, tapi karena tahu ini bukan sekadar perjalanan fisik, ini tentang jiwa yang dipanggil untuk mengabdi. Perjalanan ke Murung Raya, yang konon hanya sepuluh jam, ternyata punya cara sendiri untuk menguji niat. Jalan berlubang, sempit, dikepung truk tambang yang tak pernah lelah berjalan. Kadang harus berhenti lama, kadang harus sabar dalam diam. Delapan belas jam kami ditempa, bukan hanya oleh lelah, tapi oleh kesadaran bahwa jalan dakwah memang tak selalu lurus dan mulus. Tapi justru di situlah kami belajar, bahwa perjuangan tak pernah datang dalam bentuk yang nyaman.
Tiba di Murung Raya, kami disambut dengan tangan hangat dan senyum yang tak dibuat-buat. Silaturahim dengan ayahanda Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) dan jamaah masjid membuat kami merasa pulang, meski ini bukan tanah tempat kami lahir. Tapi kabar selanjutnya membuat langkah kami kembali diam sebentar ternyata kami tidak akan mengabdi di pusat kota. Kami akan diantar ke sebuah desa, tapi entah desa yang mana, belum ada kepastian. Sepekan kami menetap di masjid PDM, menanti kabar sambil menata niat dan menguatkan hati. Lalu, datanglah nama itu, Desa Tumbang Bahan, nama yang terdengar asing, bahkan bagi teman saya yang lahir dan besar di sini. Tapi mungkin, justru di sana tempat yang sedang menunggu cerita baru untuk dituliskan.
Perjalanan menuju desa ternyata tak kalah menantang. Meski hanya satu jam, rasanya seperti melawan waktu dan alam sekaligus. Jalan darat rusak parah, dan sisanya kami harus menyusuri sungai yang arusnya deras, hanya dengan perahu kecil yang seolah tak dirancang untuk genting seperti itu. Ada momen ketika air nyaris masuk ke perahu, dan kami hanya bisa saling pandang tertawa kecil yang menyembunyikan cemas. Tapi justru di situ, kami merasa benar-benar hidup.
Setibanya di desa, kami disambut oleh seorang warga yang ternyata adalah sosok di balik usulan kami bertugas di sini. Hari itu bertepatan dengan salat Jumat, momen yang pas seolah semesta sudah mengatur pertemuan ini jauh-jauh hari. Usai salat, kami diperkenalkan kepada jamaah. Wajah-wajah berseri menyambut kami, entah karena kedatangan dua orang asing, atau memang karena Ramadan memang punya cara sendiri menumbuhkan bahagia dalam diam. Lalu yang mengejutkan, mayoritas jamaah masjid adalah anak-anak, mata-mata polos yang penuh rasa ingin tahu. Kami pun mendengar sedikit cerita tentang kondisi Islam di desa ini yang sederhana dan semangat yang tak pernah padam. Singkatnya, kami pun tinggal. Di sebuah desa yang sebelumnya asing, tapi perlahan mulai terasa dekat. Di sinilah semua cerita itu benar-benar dimulai.
Kami tinggal di rumah seorang warga yang juga pengurus masjid, namanya Bapak Maulana. Sosok sederhana yang begitu hangat dan bersahaja. Semua kebutuhan kami ditanggung oleh PDM, Kementerian Agama Murung Raya, dan tentu saja beliau serta keluarga yang dengan tulus membuka pintu rumah dan hatinya untuk kami. Tapi yang paling menarik bukan soal tempat tinggal, melainkan tempat kami mandi, bukan di kamar mandi biasa, tapi di lanting rakit kayu yang terapung di pinggir Sungai Barito. Lanting milik Bapak Maulana bukan hanya tempat mandi dan mencuci, tapi juga warung kecil dan pelabuhan perahu. Di sanalah kami benar-benar merasa hidup, disapa angin sungai yang tajam, ditemani arus Barito yang deras, dan setiap hari menyaksikan perahu kecil hingga kapal tongkang pengangkut batu bara melintas begitu dekat. Pemandangan yang tak mungkin kami temukan di kota, suasana yang perlahan-lahan mengajarkan kami arti kesederhanaan yang dalam.
Hari-hari pertama terasa berat, karena minimnya akses internet. Hal-hal yang dulu terasa sepele, seperti mengirim laporan, konsultasi dakwah, atau sekadar mencari referensi, kini jadi perjuangan tersendiri. Tapi di balik keterbatasan itu, kami justru belajar untuk lebih peka dan tangguh. Waktu yang singkat kami manfaatkan untuk observasi, mengenal ritme desa, dan menyusun strategi dakwah yang sederhana tapi menyentuh. Ternyata, hampir semua yang akan kami dampingi adalah anak-anak, lalu kami pun menyusun langkah. Dakwah kami fokus pada hal-hal dasar namun penting, menanamkan akidah yang kuat, mengajarkan wudu dan salat dengan benar, serta membimbing mereka membaca Al-Qur’an. Karena dari merekalah harapan tumbuh dari lisan-lisan kecil yang suatu hari akan meneruskan suara kebaikan di tanah ini.
Tantangan datang silih berganti, dari ilmu yang kami miliki, hingga mental yang perlahan diuji. Ternyata, semua pelatihan yang pernah kami ikuti, sebaik apa pun materinya, tak pernah benar-benar cukup untuk menyiapkan kami menghadapi kenyataan di lapangan. Butuh lebih dari sekadar teori, dibutuhkan keberanian untuk terjun langsung, untuk merasakan sendiri bagaimana membaur dengan masyarakat, menghadapi perbedaan pandangan, dan belajar mengelola konflik secara nyata. Dari obrolan santai dengan warga, dari canda tawa anak-anak, hingga momen-momen hening di sela kegiatan, semua itu menjadi ruang belajar yang tak pernah kami dapatkan di ruang kelas. Tantangan terbesar kami bukan menyampaikan ilmu, tapi menciptakan rasa nyaman, agar yang kami ajarkan bisa benar-benar diterima. Karena kami sadar, dakwah bukan soal seberapa banyak yang kita tahu, tapi seberapa dalam kita bisa menyentuh hati mereka.
Putar balik waktu sejenak, sebelum kaki kami benar-benar menapak di desa ini. Saat itu kami diberi tahu, bahwa masyarakat di sini tak seluruhnya beragama Islam. Ada yang Kristen, dan ada pula yang masih memegang teguh keyakinan asli suku Dayak. Tentu saja, itu menjadi catatan tersendiri di kepala kami bahwa kami harus lebih berhati-hati, lebih peka, dan lebih bijak. Apalagi, kami pernah mendengar cerita dari seorang teman yang sempat mengalami konflik hanya karena suara azan. Tapi nyatanya, desa ini membalik semua prasangka itu, toleransi yang seringkali hanya jadi slogan di kota-kota besar, di sini justru hidup dalam bentuk yang paling nyata. Tak ada kecurigaan, tak ada sekat, kami justru belajar toleransi dari mereka, dari warga desa yang tahu caranya saling menghargai tanpa harus merasa lebih benar. Masjid dan gereja berdiri berdekatan, pendeta dan jamaah shalat bisa saling sapa tanpa beban. Ini bukan hanya pelajaran, tapi tamparan lembut, bahwa hidup damai bukan soal kesamaan, tapi soal saling menghormati.
Bagian terbaik dari semua ini bukan hanya soal toleransi antaragama, tapi juga toleransi di dalam tubuh umat Islam itu sendiri. Di kota-kota besar, perbedaan pemahaman agama seringkali menjadi bahan perdebatan panjang, bahkan tak jarang berubah jadi perselisihan. Tapi di sini, di desa yang jauh dari sorotan, kami justru menemukan kedamaian dalam perbedaan. Tak ada saling menyanggah ketika tata cara ibadah berbeda, tak ada rasa paling benar. Mereka percaya, selama ada dalil yang kuat, dan selama itu masih dalam ajaran Rasulullah, maka setiap jalan yang ditempuh adalah jalan yang sah. Perbedaan bukan untuk dipertentangkan, tapi dipahami. Kami jadi tersadar bahwa pelajaran besar tak selalu datang dari mimbar tinggi atau forum ilmiah. Kadang justru dari perkampungan sederhana, dari warga yang tak banyak bicara, tapi paham betul makna menerima.
Menjadi mubaligh di desa ini bukan hanya soal menyampaikan dakwah, tapi juga tentang ikut menjalani kehidupan mereka. Kami bermain bersama anak-anak, ikut belanja ke pasar, berkeliling desa, hingga masuk ke hutan mencari buah liar. Bahkan untuk urusan air minum pun, kami ikut mengambil langsung dari sumber mata air yang hanya bisa dicapai dengan melawan arus sungai yang deras dan begitu derasnya hingga membentuk pusaran air. Orang-orang di sini menyebut tempat itu “teluk”. Dulu, katanya pernah ada kapal penarik tongkang batu bara yang tenggelam di sana. Bahkan sebelum kami pulang, salah satu warga juga sempat karam di pinggir pusaran itu, beruntung nyawanya masih terselamatkan. Semua itu menjadi bagian dari perjalanan kami yang tak mungkin dihapus oleh waktu. Suka dan duka, tawa dan cemas, semua berpadu jadi satu cerita yang layak diabadikan. Karena pengalaman seperti ini tidak datang dua kali, dan kami tahu, ini bukan sekadar pengabdian, ini adalah kehidupan yang sedang mengajari kami tentang makna sesungguhnya dari bersama.
Akhirnya, waktu menyadarkan kami bahwa setiap perjalanan punya titik pulang. Kami harus kembali ke Puruk Cahu, lalu ke Kota Palangka Raya. Perpisahan ini bukan hal yang kami inginkan. Bapak Maulana mengundang warga untuk makan malam terakhir bersama kami di Ramadan ini, malam yang penuh haru, antara senang karena akan pulang, dan sedih karena harus meninggalkan. Anak-anak meminta kami untuk tetap tinggal, tapi kami tahu, tugas lain sudah menanti. Tidak selamanya kami bisa di sini. Namun, satu hal pasti, sebagian hati kami akan selalu tertinggal di desa ini.
Pulanglah kami, diantar oleh Bapak Maulana dengan perahunya, anak-anak dan warga berdiri melambaikan tangan dengan senyum yang menyimpan haru. Sedih itu nyata, di balik perpisahan ini, kami titipkan harapan semoga Islam di Desa Tumbang Bahan terus tumbuh dengan damai dan menguatkan generasi muda dengan akidah, ibadah, dan cinta Al-Qur’an. Semoga cahaya itu terus menyala, meski kami telah kembali ke kota.
*Ketua Umum PC IMM Seruyan
Tinggalkan komentar